Ada Potensi Credit Crunch di Sistem Perbankan RI

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di sektor pembiayaan korporasi masih rendah atau baru 3,2% dari pagu anggaran Rp 62,22 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, pembiayaan korporasi dari pagu anggaran Rp 62,22 triliun baru terserap Rp 2 triliun. Terdiri dari penjaminan korporasi sudah terealisasi melalui pembayaran Imbal Jasa Penjaminan (IJP) Rp 945 juta dan dana cadangan claim loss limit Rp 2 triliun.

“Itu dalam rangka menjamin kredit modal kerja,” jelas Sri Mulyani saat melakukan rapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (12/11/2020).

Masih rendahnya serapan dana PEN di sektor pembiayaan korporasi tersebut, kata Sri Mulyani karena imbas dari adanya restrukturisasi yang dilakukan oleh perbankan. Sehingga untuk menyalurkan kredit ke dunia usaha, perbankan harus membutuhkan dana ekstra.

Adanya kesulitan perbankan untuk mengucurkan kredit ke dunia usaha, kata Sri Mulyani menjadi fokus Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar tidak terjadi credit crunch.

“Memang sekarang ini situasi yang dihadapi bank harus melakukan restructuring sehingga mereka (perbankan) untuk meminjamkan kembali akan membutuhkan ekstra effort. Sementara perusahaan-perusahaan untuk pinjam lagi dalam situasi pinjaman belum lancar dan masih akan sulit lagi,” ujarnya.

“Kami bersama Bank Indonesia, OJK, Pak Purbaya (Ketua Dewan Komisioner LPS) sedang melihat fenomena sektor keuangan ini, supaya tidak terjadi credit crunch. Di mana kreditnya semakin menurun,” kata Sri Mulyani melanjutkan.

Credit crunch adalah keengganan perbankan menyalurkan kredit karena tidak ada permintaan. Jika dipaksa memberikan kredit, kemungkinan akan berdampak pada kredit macet dan memunculkan masalah likuiditas pada 2021.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga pernah mengatakan hal serupa. Menurut Perry, perbankan saat ini lebih selektif dalam menyalurkan kredit, karena dibayangi oleh permasalahan persepsi risiko yang tinggi. Sehingga bank enggan untuk menyalurkan kredit atau biasa disebut dengan istilah credit crunch.

“Injeksi likuiditas kurang lebih Rp 670 triliun atau mencapai 4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adanya masalah persepsi risiko tinggi, sehingga bank-bank milih-milih [salurkan kredit],” ujarnya pada Rabu (28/10/2020) dalam webinar Gerakan Pakai Masker.

Salah satu alasan yang membuat bank enggan melakukan menyalurkan kredit ke dunia usaha, kata Perry, disebabkan karena aktivitas ekonomi dunia usaha belum kembali normal. Hal itu menimbulkan adanya credit crunch.

Dalam mengatasi persoalan credit crunch, menurut Perry, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini telah memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Hal itu untuk menyeimbangkan antara permintaan dan akses kredit.

“Dunia usaha sektor yang saya sebut perlu demand for kredit dan matching ini atasi credit crunch dan asimetris informasi itu penting. Kemudian Ketua OJK, Pak Wimboh Santoso sudah memperpanjang program restrukturisasi kredit sehingga memberikan nafas bagi dunia usaha dan perbankan untuk atasi tadi,” kata Perry.

Di kutik oleh https://www.cnbcindonesia.com/news/20201112150333-4-201373/nah-lho-ada-potensi-credit-crunch-di-sistem-perbankan-ri

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *