“Tekanan terhadap nilai tukar rupiah utamanya disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang realistis sehingga timbul double deficit, trade deficit dan financial deficit,” ucap Heri kepada JPNN (Group FAJAR), Selasa (4/9/2018).
Dia menerangkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini mengalami defisit ganda. Di mana defist neraca berjalan mencapai US$ 8 miliar sampai bulan Juli 2018. Sementara utang telah mencapai 34% dari PDB.
Berdasarkan catatannya, nilai tukar rupiah telah turun sebesar 8,7% sejak awal tahun 2018. Padahal Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis points sejak bulan Mei.
Kemudian, intervensi BI juga berdampak pada cadangan devisa yang turun sebesar 10,5% menjadi US$111,9 miliar. BI sendiri telah membeli bond pemerintah sebesar Rp 80 triliun pada minggu lalu untuk menurunkan 10-year yield yang telah mencapai 8,094%.
Di sisi lain, politikus asal Jawa Barat ini menyebut penguatan dollar AS menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dalam dollar.
Politikus Gerindra ini mengatakan, timbul double deficit, yakni trade deficit dan financial deficit disebabkan antara lain oleh subsidi BBM semakin tinggi, membanjirnya impor, pembiayaan infrastruktur dalam mata uang asing, dan defisit APBN yang dibiayai utang (termasuk dalam mata uang asing).
Untuk itu dia menyarankan beberapa kebijakan untuk segera diambil oleh pemerintah. Di antaranya memotong anggaran belanja secara signifikan, dan menurunkan defisit anggaran agar menurunkan prospek CA deficit dan memberikan imunitas pada ekonomi. (JPNN)
Sumber: Harian ujungpandang ekspres
Catatan: PT. Jamkrida Sulsel melayani Penerbitan Sertifikat Penjaminan kredit, Surety Bond ( Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, Jaminan uang muka, Jaminan Pemeliharaan) dan Kontra Bank Garansi di Sulawesi Selatan.