CNN Indonesia — Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan masih ada beberapa masalah yang mengganjal terbentuknya holding ultra mikro antara PT Pegadaian (Persero), PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM, dan PT BRI (Persero) Tbk.
Salah satunya terkait dengan aturan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK). Dalam POJK Nomor 32 /POJK.03/2018 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit dan Penyediaan Dana Besar Bagi Bank Umum disebutkan nominal BMPK per satu peminjam/kelompok adalah 10 persen dari modal inti.
Menurut Tiko, akrab sapaannya, BMPK tersebut tidak pas untuk holding ultra mikro yang tujuannya adalah menyalurkan kredit kepada wong cilik. Bila hanya 10 persen, ia menilai pinjaman BRI ke PNM dan Pegadaian tidak terlalu signifikan.
Selain itu, ia menyebut cost of fund atau biaya dana bisa ditekan dengan aturan pengecualian. Ia menyebut dengan modal inti BRI senilai Rp270 triliun, dengan aturan saat ini PNM dan Pegadaian masing-masing hanya bisa mendapat dana Rp27 triliun. Bila dinaikkan jadi 30 persen, maka bisa diberikan pembiayaan murah mencapai Rp81 triliun.
Oleh karena itu, ia menyebut akan mengajukan aturan pengecualian kepada OJK. Harapannya, holding ultra mikro bisa mendapat BMPK 30 persen dari modal.
Tiko menilai pihaknya bisa mendapat pengecualian karena memiliki tujuan khusus. Aturan serupa juga sebelumnya dikecualikan untuk BUMN lain, seperti PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
“Sama dengan Pertamina dan PLN sebagai usaha negara yang punya tujuan khusus OJK bisa memberikan BMPK khusus,” jelasnya pada Raat Kerja Komisi VI DPR RI, Rabu (22/9).
Sebagai informasi, holding ultra mikro yang beranggotakan tiga BUMN tersebut bertujuan untuk memberikan kredit atau pinjaman berbunga murah untuk masyarakat kecil.
Pemerintah telah mengalihkan saham Pegadaian dan PNM senilai Rp54,7 triliun kepada BRI selaku induk holding ultra mikro. Hal ini merupakan tahap akhir dalam pembentukan holding tersebut.