Hujan Kritik untuk Status UNESCO di Hutan ‘Berdarah’ Thailand

Sebuah kompleks hutan yang luas di Thailand telah ditambahkan ke Daftar Situs Warisan Dunia UNESCO, meskipun para ahli PBB sendiri memperingatkan banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat suku ada yang menghuni kawasannya.
Kompleks Hutan Kaeng Krachan di Thailand barat dikenal kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk buaya siam yang terancam punah, kata UNESCO dalam pengumumannya pekan lalu.

 

Thailand telah melobi selama bertahun-tahun untuk mendapatkan status Warisan Dunia untuk kompleks tersebut, dan Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha yang memuji keputusan UNESCO, bersumpah untuk melindungi hutan sesuai dengan “standar internasional”.
“Semua orang akan menjadi bagian dari manajemen bersama, sehingga mereka akan merasakan rasa memiliki.”

Pakar PBB pekan lalu mendesak komite UNESCO untuk menunda keputusan sampai pemantau independen mengunjungi daerah itu dan kekhawatiran tentang masyarakat adat telah ditangani.

“Ini adalah kasus preseden yang penting, dan dapat mempengaruhi kebijakan tentang bagaimana hak-hak masyarakat adat dihormati di kawasan lindung di seluruh Asia,” kata ketiga ahli dalam sebuah pernyataan yang dirilis Jumat (30/7) oleh kantor Komisaris Hak Asasi Manusia PBB.

“Orang asli Karen di taman nasional terus diusir secara paksa dan rumah mereka dibakar.”

Mereka juga mengatakan proses pencalonan Warisan Dunia tidak memiliki partisipasi efektif masyarakat adat, menyerukan masyarakat adat untuk diperlakukan sebagai mitra dalam melindungi hutan, bukan ancaman.

Daftar taman tersebut membuat kecewa aktivis Pongsak Tonnamphet, penduduk asli daerah tersebut.

“Keputusan itu tidak dibuat berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, minoritas tidak memiliki kesempatan untuk berbicara,” kata pria berusia 24 tahun itu kepada AFP.

Komite Warisan Dunia UNESCO tidak mencantumkan nama hutan tersebut pada tahun 2016 dan 2019 karena masalah hak asasi manusia.
Perselisihan telah mendidih selama beberapa dekade.

Sementara banyak penduduk asli diduga diusir dari daerah itu, mereka yang tersisa tidak diizinkan untuk mengolah tanah.

Pihak berwenang mengatakan kegiatan pertanian warga suku akan merusak hutan, tetapi para aktivis berpendapat bahwa metode pertanian tradisional tidak merusak lingkungan.

Para pegiat hak asasi manusia menuduh pejabat Thailand menggunakan pelecehan dan kekerasan untuk memaksa penduduk asli keluar dari hutan.

Serpihan tulang hangus terbakar seorang pemimpin etnis Karen yang terkenal ditemukan di dalam hutan pada 2019, lima tahun setelah dia menghilang, menurut penyelidik Thailand.

Pengelola hutan pada saat itu adalah yang terakhir melihatnya hidup, tetapi tuduhan serius termasuk pembunuhan berencana dibatalkan pada awal 2020, dengan pihak berwenang mengutip kurangnya bukti.

Menjelang pengumuman UNESCO, sekelompok hak asasi masyarakat adat mengadakan protes di depan kementerian lingkungan di Bangkok, melemparkan cat merah ke papan nama gedung.

Terletak di dekat perbatasan dengan Myanmar, kompleks Kaeng Krachan tersebar di lebih dari 480 ribu hektare, dan mencakup tiga taman nasional dan suaka margasatwa.

Baca artikel CNN Indonesia “Hujan Kritik untuk Status UNESCO di Hutan ‘Berdarah’ Thailand” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210804095124-269-676160/hujan-kritik-untuk-status-unesco-di-hutan-berdarah-thailand/2.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *