CNN Indonesia — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyarankan agar pemerintah mencoba wacana kebijakan yang tengah beredar di publik, yaitu penguncian wilayah (lockdown) pada akhir pekan.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan tersebut layak dicoba meski mungkin dampaknya tidak akan seefektif bila pemerintah melakukan lockdown total dengan masa inkubasi 7-14 hari. Tapi setidaknya, kata dia, wacana tersebut tidak mengganggu sektor industri dan bisnis.
“Wacana kebijakan lockdown akhir pekan yang tengah mengemuka dapat diuji sebagai alternatif kebijakan untuk menekan risiko penularan tanpa merelakan kinerja sektor industri dan bisnis di hari kerja,” ungkap Tauhid dalam diskusi virtual bertajuk Covid-19 Meningkat, Ekonomi Melambat, Minggu (7/2).
Wacana lockdown akhir pekan mengemuka di tengah pelbagai kebijakan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat yang selama ini dianggap tidak efektif mengerem penyebaran virus corona.
Pemerintah diketahui sempat menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dilanjutkan dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Tapi jumlah kasus baru per harinya masih terus meningkat. Bahkan mencetak rekor baru di tengah penerapan kebijakan tersebut.
Kendati begitu bila wacana lockdown akhir pekan itu jadi diterapkan, Tauhid mewanti-wanti pemerintah terkait distribusi barang. Menurutnya, pemerintah harus bisa menjamin distribusi barang dan logistik tetap berjalan.
Pun dengan pengendalian pandemi melalui testing, tracing, dan treatment (3T), Tauhid menyarankan pemerintah untuk tetap melakukannya secara masif. Tak ketinggalan soal protokol kesehatan pencegahan Covid-19 meliputi menggunakan masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan (3M).
Namun di sisi lain, Tauhid mengakui bahwa kebijakan lockdown akhir pekan menyimpan kelemahan, yakni membutuhkan ongkos yang mahal. Salah satunya adalah ongkos berupa risiko penurunan ekonomi yang lebih dalam.
Sebab menurutnya, lockdown akan memperparah kinerja industri akomodasi, makanan dan minuman restoran, hingga transportasi dan pergudangan. Tauhid memperkirakan dampaknya akan lebih buruk dari proyeksi ekonomi sebesar minus 1 persen pada kuartal I 2021 dalam kondisi normal sebelum lockdown.
“Jika dilakukan dalam satu kuartal maka akan terjadi penurunan 5 persen sampai 7 persen,” ujarnya.
Di sisi lain, Indef turut memberi saran kebijakan lain yang mungkin bisa diterapkan pemerintah untuk menanggulangi dampak pandemi. Misalnya, peningkatan efektivitas stimulus fiskal.
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja mengerek lagi alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 dari Rp619 triliun menjadi Rp627,9 triliun. Namun menurutnya, alokasi ini perlu dikaji lagi.
Ia tak ingin anggaran hanya besar dipagu, tapi minim direalisasi seperti pelaksanaan PEN 2020 yang hanya mencapai 83 persen dari pagu Rp695,2 triliun. Maka dari itu, percepatan serapan dan efektivitas harus ditingkatkan.
Caranya, dengan memperbaiki data sasaran penerima, perbaikan mekanisme pengalokasian, perubahan nilai alokasi anggaran, menghapus kegiatan-kegiatan di program PEN yang boros dan tidak efektif, hingga menempatkan skala prioritas dalam menjaga konsumsi masyarakat untuk makanan dan minuman tetap terjaga dengan baik. Khusus untuk program vaksinasi covid-19 harus disegerakan.
“Pemerintah harus dapat memastikan bahwa ketersediaan vaksin benar-benar dapat disediakan dalam kurun waktu 2021 ini. Jika terlambat maka hanya akan mimpi bahwa pemulihan ekonomi benar-benar terjadi,” tutur dia.
Tak hanya dari sektor fiskal, Indef juga menyarankan kebijakan moneter tambahan pada tahun ini untuk menekan dampak pandemi. Salah satunya dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dari kisaran 3,75 persen menjadi 3 persen.
“Melalui penurunan pada level efektif, yaitu melalui menurunkan kembali pada besaran suku bunga acuan hingga menjadi 3 persen,” imbuh Tauhid.
Harapannya, kebijakan moneter tersebut mampu menggairahkan lagi sektor riil dan meningkatkan permintaan (demand) masyarakat. Kebijakan ini bisa dilengkapi dengan mengoptimalkan uang beredar di masyarakat untuk meningkatkan permintaan.