Jokowi Perlu Obati 2 Penyakit Agar Resesi Ekonomi Teratasi
Sinyal Indonesia masuk resesi ekonomi pada kuartal III 2020 makin kuat disampaikan oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan pertumbuhan ekonomi minus sekitar 3 persen pada periode Juli-September 2020.
Artinya, Indonesia resmi masuk jurang resesi setelah pada kuartal sebelumnya, laju ekonomi minus 5,32 persen.
“Pada kuartal III ini, kita juga mungkin sehari, dua hari, tiga hari akan diumumkan oleh BPS, juga masih berada di angka minus. Perkiraan kami minus 3 persen, naik sedikit,” ujar Jokowi dalam pembukaan Sidang Kabinet Paripurna, Senin (2/11)
Kepala negara menyinggung komponen yang menopang struktur pertumbuhan ekonomi masih lesu. Investasi, misalnya, belum bisa digenjot pada kuartal III 2020 ini.
Padahal, Jokowi mengaku sudah meminta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mendorong realisasi investasi.
Berdasarkan data BPS, komponen investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menyumbang 30,61 persen kepada PDB. Pada kuartal II 2020 lalu, posisinya minus 8,61 persen sehingga tak ayal pertumbuhan ekonomi ikut jatuh.
Sementara itu, komponen pengeluaran yang memiliki kontribusi terbesar pada PDB adalah konsumsi rumah tangga yakni sebesar 57,85 persen. Pun demikian, konsumsi rumah tangga juga tercatat minus 5,51 persen pada kuartal II 2020 lalu.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan membutuhkan sejumlah strategi untuk mendorong 2 komponen utama pembentuk PDB tersebut supaya jerat resesi di Indonesia tidak berkepanjangan.
Terkait investasi misalnya, ia mengatakan Jokowi harus segera menurunkan ongkos investasi di Indonesia yang tinggi. I ni tercermin dari indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
ICOR sendiri merupakan parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Dengan kata lain, semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien.
Saat ini, ICOR Indonesia di angka 6,6, atau kalah dari Thailand yang sebesar 4,4, Malaysia 4,5, Vietnam 4,6, dan Filipina 3,7.
“Indonesia masih berhadapan dengan ongkos investasi yang mahal, bukan hanya masalah logistik tapi juga masalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang seringkali memang tidak selaras,” tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/11).
Tingginya ongkos investasi di Indonesia disebabkan sejumlah hal, namun yang paling utama menurut Yusuf adalah praktik korupsi. Alasan serupa pernah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Bahlil mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih tinggi, yakni pada urutan 85 dari 180 negara, sehingga membuat investor enggan menanamkan modalnya di Tanah Air. “Salah satu penyebab investasi mahal adalah korupsi yang sebetulnya masalah klasik sampai sekarang, dan ketika ada covid-19 ini menjadi kabar buruk bagi Indonesia. Karena investasi ini penyumbang terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga dalam dorong pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
Selain itu, ia menuturkan untuk mendorong investasi di Indonesia maka pemerintah harus menurunkan biaya logistik dan memperbaiki koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Kerap kali, sebuah investasi mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat tetapi berakhir mandeg di daerah.
Sementara itu, kinerja sektor logistik Tanah Air juga masih tertinggal dari negara tetangga. Tepatnya, Indonesia berada di posisi 46, tertinggal dari Malaysia di peringkat 41, Vietnam 39, Thailand 32, dan Singapura 7.”Untuk mendongkrak investasi memang harus menurunkan biaya ongkos investasi dari beragam hal mulai dari perbaikan administrasi kenegaraan, koordinasi kebijakan pusat, dan daerah kemudian masalah klasik seperti harga gas industri listrik, dan ongkos logistik”ucapnya.
Sedangkan dari sisi konsumsi, ia menilai pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk melakukan konsumsi. Caranya, hanyalah dengan menekan kasus covid-19.
Sayangnya, ia menilai upaya pemerintah menekan pandemi masih kurang serius. Ini tercermin dari realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor kesehatan masih yang baru mencapai Rp27,59 triliun atau 31,51 persen dari pagu Rp87,55 triliun per September lalu.
Menurutnya, itu masih terlalu rendah.
“Padahal ini yang diperlukan untuk mendorong konsumsi melalui sentimen atau kepercayaan konsumsi kelas menengah, khususnya kelas menengah atas. Kalau covid-19 sudah diturunkan ini menambah kepercayaan kelas menengah atas untuk lebih leluasa dalam melakukan aktivitas konsumsi,” katanya.Upaya pemerintah menggenjot konsumsi masyarakat juga bisa dilakukan dengan mendorong penyaluran dana PEN dari sektor-sektor lainnya, khususnya, dana perlindungan sosial.
Memang, kata Yusuf, realisasi sektor perlindungan sosial paling besar yakni sebesar Rp167,08 triliun atau 81,94 persen dari pagu Rp203,9 triliun. Namun, dalam praktik di lapangan, ia mengungkapkan penyaluran bantuan sejumlah program yang masuk dalam perlindungan sosial masih mengalami kendala, misalnya Kartu Prakerja dan Bantuan Subsidi Gaji (BSU).
Ia mengatakan banyak calon penerima Kartu Prakerja gagal mencairkan bantuan lantaran terganjal masalah prosedural. Misalnya, calon penerima tidak mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan sehingga tidak bisa menerima insentif senilai Rp3,5 juta dari Kartu Prakerja.
Hal yang sama, kata dia, juga terjadi pada program subsidi upah yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, pemerintah hendaknya melakukan evaluasi kualitas pelaksanaan program bukan hanya berpatok pada tingkat realisasi penyaluran.”Jadi, meskipun persentase meningkat tapi kalau dilihat lebih detail dari perlindungan sosial ini masih banyak yang harus ditingkatkan dalam upaya untuk mendorong konsumsi khususnya pada 2 bulan terakhir tahun ini,” tuturnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menambahkan kunci perbaikan investasi maupun konsumsi paling utama adalah mengendalikan pandemi covid-19.
“Sebenarnya baik investasi maupun konsumsi kalau mau pulih maka pandemi harus terkendali,” tuturnya.
Namun, untuk mengurangi tekanan pada investasi, ia menilai pemerintah perlu membidik investasi dari negara-negara yang pandeminya mulai terkendali dan ekonominya pun berangsur pulih. Indonesia, dalam hal ini harus bersaing ketat dengan negara lain yang juga berupaya menarik investasi dari negara-negara yang sudah membaik tersebut, sehingga harus memiliki nilai tawar yang lebih kuat.”Seiring aktivitas ekonomi mereka yang meningkat, diharapkan negara-negara tersebut juga segera ekspansi ke luar negeri,” tuturnya.
Eko mencontohkan negara yang dari sisi ekonomi maupun pandemi mulai membaik adalah China. Umumnya, kata dia, China tertarik untuk investasi pada sektor teknologi dan infrastruktur. Namun, ia kembali menekankan guna menarik investasi dari China bukan perkara mudah, utamanya jika hal utama tadi, yakni pandemi covid-19 belum terkendali.
“Kemungkinan mereka belum akan kembali melirik Indonesia kalau penanganan pandemi masih belum maksimal,” ucapnya.
Sementara itu, guna mengurangi tekanan pada konsumsi rumah tangga, maka ia menyarankan agar sektor-sektor berisiko penularan covid-19 rendah bisa mulai dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat. Misalnya, aktivitas ekonomi di luar ruangan dengan tetap membatasi kapasitasnya.Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong ekonomi digital dan e-commerce berbasis potensi lokal. Harapannya ini bisa mendorong sektor UMKM yang memiliki kontribusi besar kepada PDB kurang lebih 60 persen.
“Belanja sosial juga harus terus disalurkan sesuai alokasi yang sudah ditetapkan agar masyarakat bawah juga mulai bangkit,” katanya.
Dikutip Oleh : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201103063157-532-565153/jokowi-perlu-obati-2-penyakit-agar-resesi-ekonomi-teratasi