CNN Indonesia — Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal sejak 2011 hingga 2021 lalu mencapai Rp117,4 triliun. Adapun, korbannya sebanyak jutaan orang.
Wakil Ketua I SWI Wiwit Puspasari merinci total kerugian akibat investasi pada 2011 silam sebesar Rp68,2 triliun. Kemudian, menurun menjadi Rp7,9 triliun pada 2012, dan Rp200 miliar pada 2014.
Lalu, Rp300 miliar pada 2015, Rp5,4 triliun pada 2016, dan Rp4,4 triliun pada 2017. Selanjutnya, kerugian masyarakat berulang pada 2018 sekitar Rp1,4 triliun, dan tahun berikutnya menjadi Rp4 triliun.
“Pada 2020 menjadi Rp5,9 triliun, dan Rp2,5 triliun pada 2021,” ujarnya dalam rapat koordinasi penanganan investasi ilegal dan pinjol ilegal bersama SWI di Kota Palu, Selasa (18/1).
Menurut Wiwit, penyebab utama maraknya investasi ilegal di era teknologi informasi saat ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi pelaku dan sisi masyarakat selaku korban dan sasaran investasi ilegal.
Di sisi pelaku, kemudahan membuat aplikasi, website, dan penawaran melalui media sosial, serta banyaknya server di luar negeri yang meramaikan penawaran investasi ilegal semakin marak.
“Sedangkan, dari sisi masyarakat, mudahnya tergiur bunga tinggi (imbal hasil) dan belum paham terhadap investasi, sehingga mengakibatkan kerugian yang masif dalam hal jumlah korban dan nilai kerugian,” jelasnya.
Para pelaku investasi ilegal biasanya menggunakan modus berupa like dan view post di media sosial dengan sistem penjualan langsung berupa paket member atau referral.
Kemudian, menawarkan jasa pengisian isi ulang pulsa dengan memberikan bonus berjenjang.
“Biasanya juga menggunakan modus iklan seperti kegiatan jasa periklanan dengan sistem jaringan dan juga menggunakan skema piramida dengan modus penjualan buku elektronik,” terang dia.
Selain itu, sambung Wiwit, pelaku investasi ilegal kerap menggunakan skema ponzi dengan modus membantu sesama, atau penjualan saham atau belanja online.
“Masyarakat mesti mengetahui ciri-ciri investasi ilegal, sehingga lebih waspada dan tidak tergiur. Ciri-cirinya, menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru, memanfaatkan tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk menarik minat berinvestasi,” tutur dia.
Kemudian, ia menambahkan investasi ilegal kerap menawarkan klaim tanpa risiko agar masyarakat tergiur, legalitas tidak jelas, tidak memiliki izin usaha. Kalau pun memiliki izin kelembagaan, seperti perseroan terbatas, koperasi, yayasan dan lain-lain, tetapi tidak memiliki izin usaha.