Kualitas di Bawah Standar Produksi Jadi Alasan Indonesia Harus Impor

 

JAKARTA, KOMPAS.com –      Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut ada sejumlah komoditas yang tak bisa dihindari untuk dilakukan impor. Meski tak banyak, bahan makanan juga menjadi salah satu penyumbang impor di Indonesia. Hal ini disebabkan kualitasnya rendah sehingga tak bisa dimanfaatkan oleh industri dalam berproduksi. Dodol Garut, misalnya, jika tak menggunakan kualitas gula yang baik, maka rasanya tidak enak dan mudah rusak. “Saya agak terganggu dengan dodol Garut, pilihannya harganya tinggi atau kualitasnya rendah.

                 Kualitas gula ini rendah di dalam negeri,” ujar Enggar di kantor Kemendag, Jakarta, Kamis (10/1/2018). Baca juga: Pemerintah Buka Keran Impor Jagung 30.000 Ton Sementara itu, kata Enggar, kualitas gula dari luar lebih baik sehingga Kemendag membuka keran impor. Pilihan tersebut mau tak mau dilakukan karena kebutuhan industri di Indonesia. Industri produsen makanan seperti Mayora, Wings, dan Indofood memiliki standar tersendiri soal kualitas bahan makanan, termasuk gula. Pemerintah sudah mendorong penggunaan gula dalam negeri, namun ternyata tak cukup kriterianya untuk kebutuhan industri. Kualitasnya masih di bawah standar industri.
              Di sisi lain, banyak pabrik gula yang tutup karena kalah persaingan. “Kita dari mana lagi kalau bukan impor. Jumlah produksi gula tidak cukup memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Setidaknya 2,8 juta ton kebutuhan industri untuk 2019,” kata Enggar. Baca juga: PPh Naik, Impor Barang Konsumsi Hanya Turun 9,64 Persen Selain itu, garam juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah tak bisa merekomendasikan penggunaan garam yang memiliki kandungan Natrium Klorida (NaCl) yang rendah. Di beberapa dawrah, kata Enggar, bahkan garam sudah bercampur limbah karena dikeruk dari laut atau tambak yang terkontaminasi. “Garam rakyat diolah, isinya busa semua. Kalau busanya masuk ke garam, infuse, mati kita,” ujar Enggar. “Masyarakat Indonesia juga semakin sadar kesehatan, gula dan garam harus baik,” lanjut dia. Oleh karena itu, kata Enggar, pentingnya ada binaan terhadap petani tebu maupun penambak garam untuk memprosesnya menjadi bahan makanan yang bisa dijual sesuai standar. Baca juga: 1 Januari 2019, Pengajuan Dokumen Ekspor-Impor Seluruhnya Lewat Internet Sepanjang 2018, barang modal dan bahan baku menjadi subsektor yang paling besar menyumbang impor. Komoditas yang mengalami peningkatan adalah besi baja. Enggar mengatakan, pihaknya membuka impor besi baja dalam jumlah besar bukan tanpa alasan jelas. Jika bukan karena dibutuhkan industri dalam negeri, pemerintah tak akan mengizinkan barang tersebut masuk. “Saya selalu imbau tolong jangan impor kalau ada produksi dalam negeri. Tapi kita tidak akan memgorbankan satu industri untuk industri lain. Kalau tidak ada produksi dalam negeri, silakan,” sebut Enggar. “Saya mau rasional saja, kalau tidak ada barangnya, ya impor. Impor dilakukan kalau terjadi kekurangan atau produksinya tidak sesuai dengan persyaratannya,” tambah dia. Baca juga: Efektivitas Kebijakan Ngerem Laju Impor Dipertanyakan Kalaupun komoditas tersebut juga diproduksi dalam negeri, impor boleh dilakukan jika industri mempertimbangkan dari segi biaya modal dan produksi. Barang impor teraebut bisa masuk jika harganya lebih rendah daripada produksi dalam negeri. “Tapi kalau harganya beda tipis, janganlah impor. Kita harus dorong keberpihakan kita dengan industri dalam negeri,” ungkap Enggar.

Sumber : Kompas.com
Catatan:  PT. Jamkrida Sulsel melayani Penerbitan Sertifikat Penjaminan kredit, Surety Bond ( Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, Jaminan uang muka, Jaminan Pemeliharaan) dan Kontra Bank Garansi di Sulawesi Selatan.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *