Indonesia —
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan dalam negeri surplus sebesar US$2,19 miliar secara bulanan (month to month/mtm) pada April 2021 kemarin. Realisasi itu lebih tinggi dari surplus US$1,57 miliar pada Maret 2021, serta masih lebih tinggi dari neraca dagang April 2020 yang tercatat defisit US$350 juta.
Secara total, akumulasi surplus neraca dagang Indonesia mencapai US$7,72 miliar pada Januari-April 2021. Nilainya lebih tinggi dari surplus US$2,25 miliar pada Januari-April 2020.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan surplus terjadi karena nilai ekspor mencapai US$18,48 miliar pada April 2021. Sementara nilai impor lebih kecil dibandingkan ekspor, yakni US$16,29 miliar. Tercatat, Indonesia mengalami surplus berturut-turut selama 12 bulan.
“Bukannya menipis tapi surplus kita lebih kuat dari bulan lalu, dengan demikian surplus kita dari Januari-April ini merupakan yang tertinggi. Kalau kita mundur ke belakang dengan surplus pada April 2021 ini, maka neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus selama 12 bulan berturut-turut sejak Mei tahun lalu,” papar Suhariyanto saat rilis data neraca perdagangan periode April 2021, Kamis (20/3).
Untuk ekspor, ia menuturkan nilainya naik 0,69 persen secara bulanan dibandingkan US$18,35 miliar pada Maret 2021. Secara tahunan, nilainya naik 51,94 persen dari April 2020 sebesar US$12,19 miliar.
Secara total, ekspor Januari-April 2021 mencapai US$67,38 miliar atau naik 24,96 persen dari US$53,95 miliar pada Januari-April 2020.
secara rinci, kinerja ekspor ditopang oleh minyak dan gas (migas) mencapai US$960 juta atau naik 5,34 persen pada bulan sebelumnya. Sementara ekspor nonmigas sebesar US$17,52 miliar atau naik 0,44 persen.
Total ekspor nonmigas mencapai 94,83 persen dari total ekspor Indonesia pada April 2021.
Mulai dari ekspor industri pengolahan naik 0,56 persen secara bulanan menjadi US$14,92 miliar, dan secara tahunan naik 52,65 persen.
Selanjutnya, industri pertambangan dan lainnya meningkat 2,33 persen secara bulanan menjadi US$2,27 miliar, dan naik 47,02 persen secara tahunan.
Sedangkan, industri pertanian turun 14,55 persen secara bulanan menjadi US$34 juta, namun naik 18,98 persen secara tahunan.
Berdasarkan kode HS, peningkatan ekspor secara bulanan terjadi di komoditas besi dan baja, logam mulia, perhiasan atau permata, bijih, terak, dan abu logam, timah dan barang daripadanya, serta mesin dan perlengkapan elektrik.
Sementara penurunan ekspor terjadi di komoditas mesin dan peralatan mekanis, bahan bakar mineral, pakaian dan aksesorisnya, serta lemak dan minyak hewan/nabati.
Berdasarkan negara tujuan ekspor, kenaikan ekspor terjadi ke China mencapai US$201,2 juta, Swiss US$166,6 juta, Korea Selatan US$119,9 juta, Taiwan US$118,4 juta, dan Malaysia US$72,8 juta.
Sedangkan penurunan nilai ekspor terjadi ke Belanda sebesar US$51 juta, Jepang US$56,7 juta, Bangladesh US$62,1 juta, Italia US$68,3 juta, dan India US$123,8 juta.
“Kita tahu apa yang terjadi di India saat ini dan kita semua ikut prihatin dan mudah-mudahan apa yang terjadi di India tidak terjadi di negara lain,” ujarnya.
Kendati begitu, pangsa ekspor Indonesia tidak berubah, yakni terbanyak masih ke China mencapai 22,40 persen. Setelah itu ke AS sebesar 11,60 persen dan Jepang 7,55 persen.
Untuk impor, ia menuturkan nilainya turun 2,98 persen dari US$16,79 miliar pada Maret 2021. Namun, secara tahunan nilai impor masih naik 29,93 persen dari US$12,54 miliar pada April 2020.
Secara total, impor Januari-April 2021 mencapai US$59,67 miliar atau 15,40 naik persen dari US$51,71 miliar pada Januari-April 2020.
Dari sisi impor, impor migas sebesar US$2,03 miliar atau turun 11,22 persen dari US$2,28 miliar pada bulan sebelumnya. Sementara impor nonmigas senilai US$14,26 miliar atau turun 1,69 persen dari sebelumnya US$14,51 miliar.
Suhariyanto mencatat menurut penggunaan barang, mayoritas impor mengalami penurunan. Tercatat, impor bahan baku/penolong turun 3,63 persen secara bulanan menjadi US$12,47 miliar, sedangkan secara tahunan naik 33,24 persen. Selanjutnya, barang modal turun 9,05 persen secara bulanan menjadi US$2,19 miliar, dan secara tahunan naik 11,55 persen.
Hanya impor barang konsumsi yang naik sebesar 12,89 persen secara bulanan menjadi US$1,63 miliar, dan naik 34,11 persen secara tahunan.
Berdasarkan kode HS, kenaikan impor berasal dari mesin dan perlengkapan elektrik, bijih dan buah mengandung minyak, sayuran, plastik dan barang dari plastik, serta buah-buahan.
Sementara penurunan impor berasal dari produk farmasi, berbagai produk kimia, mesin dan peralatan mekanis, ampas atau sisa industri makanan, serta kapal, perahu, dan struktur terapung.
Berdasarkan negara asal impor peningkatan impor terjadi dari China sebesar US$597,6 juta, AS US$85,5 juta, Hong Kong US$79,3 juta, Kazakhstan US$52 juta, dan Jerman US$33,1 juta.
Sebaliknya, penurunan impor terjadi dari negara India US$81,3 juta, Australia US$101,1 juta, Argentina US$105,7 juta, Brasil US$136,2 juta, dan Korea Selatan US$357,4 juta.
Pangsa impor Indonesia utamanya didominasi dari China 4,58 persen, Jepang 1,23 persen, dan Singapura 0,82 persen.
Berdasarkan : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210520105845-532-644625/neraca-dagang-surplus-us-219-m-pada-april-2021